Pernahkah rasakan sejuknya embun di pagi hari?
Kala itu ku rasakan tangan halus lembutmu
Bak kapas putih tak kau biarkan sedikitpun noda mengusikku
Betapa bahagiamu dan bahagiaku kala itu berbaur menyatu
Tak cukup kata tuk ungkap betapa aku manusia paling
beruntung di dunia
Tik..tok..tik..tok…
Waktu terus berlalu kala itu aku beranjak dewasa
Di sisi lain kau tampak semakin menua
Dengan teganya sakitmu mulai berdatangan
Bak pisau ia menyayat kekuatanmu
Namun semangatmu kala itu tak mungkin ku lupa
Kau tampak tegar akan semuanya
Betapa aku selama ini sangat lemah
Mengeluh akan hal sederhana
Mengeluh akan hal yang tak sebanding dengan kejamnya sakitmu
yang terus menghujam
Sampai detik terakhirmu, aku tak kuasa membendung segalanya
Tak percayanya aku kala itu harus kehilanganmu
Tangis tak terbendung, ketidak ikhlasan mencengkramku
Kenapa?
Tak habis “kenapa” di kepala
Lantas apa yang bisa aku perbuat
Semua telah terjadi dan telah menjadi garisan yang telah
ditetapkan
Satu hal pasti, kini kau telah terbebas akan sakitmu
Dan kini aku yang harus tetap berjalan
Beriring dengan segala nasihatmu yang tak mungkin ku lupa
Kini cucumu masih jadi bahan cemoohan orang-orang
Hanya sekedar sampah di masyarakat
Serangan dari berbagai sudut menghujam deras menjatuhkanku
Namun tak ingin ku kecewakanmu
Entah sampai kapan bertahan tak perlu ku risaukan
Yang ku tahu pesan serta nasihatmu akan selalu menguatkanku
Dunia kita kini memang berbeda, tapi ku yakin waktu itu akan
datang
Waktu untuk kita semua berkumpul kembali.
Miss you so bad, nek
Muddani senna’ ka’ pada idi' nek
I LOVE YOU, Mrs. Habibu!